Friday, January 11, 2013

Menyusuri eksotisme Pulau Garam (Part 1)


Yang selalu muncul dibenak saya ketika mendengar kata pulau Madura hanya ada tiga hal yaitu, bebek goreng, jembatan Suramadu dan gersang. Namun dua hari kunjungan saya mampu merubah pandangan saya mengenai pulau garam tersebut.

Perjalanan ke Madura, merupakan perjalanan yang sudah lama direncanakan tetapi selalu tertunda oleh beberapa hal. Sebenarnya cukup malu juga. Saya sudah mengunjungi pulau-pulau yang letaknya jauh seperti Ternate, Morotai dan Derawan, tetapi pulau yang sangat dekat malah tidak pernah saya eksplore. Bukan berarti saya tidak pernah ke pulau Madura. Saya pernah berkeliling Madura dalam rangka perpisahan SD bertahun-tahun yang lalu, dan tentu saja saya sudah tidak ingat detilnya. Dua tahun belakangan, beberapa kali saya berkunjung kesana biasanya dalam rangka mengantar saudara atau teman dari luar kota berburu bebek goreng dan batik Madura.

Akhirnya kesempatan untuk mengunjungi Madura pun tiba. Berlima kami memutuskan untuk mengeksplor Madura selama dua hari. Ditambah dua orang lagi yang berniat bergabung di mercusuar Sembilangan untuk hunting foto. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah kami berlima dengan menggunakan mobil.

Mercusuar Sembilangan


Tujuan pertama kami di Madura adalah Mercusuar Sembilangan. Bangunan ini juga sering disebut Mercusuar Socah karena terletak di kecamatan Socah, kabupaten Bangkalan. Mercusuar yang dibangun pada tahun 1879 di masa kolonial Belanda ini masih berdiri kokoh. Tahun pembangunan tertulis di prasasti yang bisa kita temukan di bagian bangunan ini. Bangunan dengan 17 lantai ini hingga saat ini masih berfungsi dengan baik.

Dahulu kala mercusuar ini dibangun untuk membantu kapal-kapal Belanda yang masuk ke selat Madura untuk kemudian bersandar di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Saat ini mercusuar ini masih berfungsi sebagai sarana navigasi pelayaran di selat Madura.
Memasuki bangunan ini yang pertama terlihat adalah bangunan ini terbuat dari besi yang sangat tebal. Ditengah-tengah bangunan terdapat lubang besi yang melingkar dengan diameter sekitar 2 meter yang menjulang dari lantai bawah hingga ke lantai paling atas. Lubang ini berfungsi sebagai lift manual untuk menaik-turunkan barang dari atas kebawah dan sebaliknya. Bisa dibayangkan bagaimana capeknya jika harus naik turun tangga dari lantai satu ke lantai teratas untuk mengambil barang.


Antara lantai satu dengan lantai lainnya dihubungkan oleh tangga yang terbuat dari besi. Dan di masing-masing lantai terdapat dua jendela di sisi depan dan belakang bangunan. Dari jendela-jendela di tiap lantai itu kita dapat menikmati pemandangan di sekitar pantai Sembilangan. Saya mencoba naik hingga lantai paling atas. Nafas ngos-ngosan dan kaki yang gemetaran terbayar lunas dengan cantiknya pemandangan  yang terlihat ketika sampai di lantai teratas. 


Setelah puas melihat-lihat dan mengambil foto dari dalam mercusuar, kami pun berjalan ke area tambak di depan mercusuar untuk mengambil foto bangunan tersebut dari jauh. Sebagian dari kami memutuskan untuk menunggu sambil makan rujak petis di warung sekitar mercusuar. Mungkin menunggu di warung ini merupakan pilihan yang bijak jika tidak tahan panas. Sementara sebagian asik nongkrong di warung, yang lainnya tetap dengan semangat empat lima menerjang panas Madura demi mendapatkan foto yang bagus hahaha.




Setelah merasa cukup berpanas-panasan dan puas dengan foto-foto yang kami dapat, akhirnya kami pun berjalan menuju ke tempat yang lainnya menunggu dan bergabung dengan mereka menikmati rujak khas Madura. Setelah kenyang dan puas beristirahat kami pun melanjutkan perjalanan. Dua orang teman kami berpisah karena mereka ingin hunting foto ke tempat yang berbeda dengan tujuan kami selanjutnya yaitu air terjun Toroan di kota Sampang.

Air Terjun Toroan
Perjalanan kami lanjutkan berlima. Karena waktu sudah memasuki waktu sholat dhuhur, maka kami memutuskan untuk berhenti sejenak di masjid Syeh Muhammad Kholil yang terletak tidak begitu jauh dari mercusuar Sembilangan. Masjid ini banyak dikunjungi oleh orang selain untuk melaksanakan ibadah juga disebabkan di area masjid ini juga terdapat makam seorang ulama besar Madura bernama Syeh Muhammad Kholil atau biasa disebut Mbah Kholil.

Setelah sholat, kami segera melanjutkan perjalanan ke Sampang. Beberapa saat setelah memasuki  wilayah Sampang kami pun bertanya kepada penduduk setempat dimana letak air terjun Toroan. tapi rupanya bukan hal mudah bertanya mengenai lokasi ketika perbedaan bahasa menjadi kendala. Karena beberapa orang yang kami temui kurang bisa bahasa Indonesia sedangkan tidak ada satupun dari kami yang paham bahasa Madura. Contohnya adalahketika kami bertanya "Pak, dimana letak air terjun Toroan?" kepada seorang bapak yang kami temui di tengah perjalanan, dengan mantap beliau menjawab "Matur sakalangkong" yang ternyata artinya adalah terima kasih. Dan akhirnya kami hanya tertawa menyadari adanya miskom karena kendala bahasa ini. 

Jalur yang kami lalui adalah jalur pantai utara Madura. Dan pemandangan yang terbentang disisi kiri jalan adalah pantai. Dan kami tergoda untuk berhenti barang sejenak untuk beristirahat dan bermain-main. Dan setelah puas kami pun segera melanjutkan perjalanan.

Akhirnya setelah dua kali kelewat karena memang letak air terjun ini tidak terlihat dari jalan, dan tidak ada petunjuk sama sekali. "Pintu masuk" air terjun ini adalah sebuah jembatan. Kami mengikuti jalan kecil yang mengarah ke bawah jembatan. Setelah memarkir mobil, kami harus berjalan kaki sekitar 50 meter untuk mencapai lokasi air terjun. Dan akhirnya kami pun sampai di lokasi air terjun yang sempat membuat kami nyaris putus asa karena tidak kunjung menemukan lokasinya.


Air terjun Toroan ini cukup unik. Jika air terjun pada umumnya berada di pegunungan dengan ketinggian yang sangat tinggi, air terjun Toroan ini berada di pinggir pantai dengan ketinggian yang hanya sekitar 200 meter. Sayangnya keindahan air terjun ini sedikit terganggu dengan adanya penambangan pasir dan kurang kurangnya perawatan. padahal jika dikembangkan air terjun ini bisa menjadi tujuan wisata yang akan menarik minat banyak pengunjung.


Kami bermain-main ditempat ini sekitar satu jam. Hanya sekedar duduk-duduk di batu karang yang ada di sekitar air terjun sambil mengambil foto dan bermain air. Setelah puas bermain, kamipun segera meninggalkan air terjun ini untuk melanjutkan perjalanan ke Sumenep.




Saturday, November 17, 2012

Dieng, Dataran Cantik Tempat Para Dewa (Tamat)

Menyambung posting sebelumnya, setelah lelah seharian berkeliling mengunjungi beberapa obyek wisata di Dieng, malamnya kami segera beristirahat di homestay karena keesokan paginya kami harus berangkat menuju bukit Sikunir untuk melihat sunrise pukul 03.30.

Bukit Sikunir
Keesokan paginya saya terbangun pukul 3 pagi. Sambil membangunkan yang lainnya saya memasak mie instant untuk sekedar menghangatkan perut sebelum bergumul dengan dinginnya dini hari Dieng. Pukul 3.30 tepat kami berangkat menuju ke bukit Sikunir. Selama di perjalanan kami tidak bisa melihat apa-apa selain bagian yang terkena sorot lampu mobil karena suasana masih sangat gelap. Semakin mendekati lokasi, jalanan semakin sempit. Setelah sekitar 30 menit perjalanan sampailah kami di telaga Cebong, tempat dimana mobil harus parkir dan kami melanjutkan perjalanan mendaki dengan berjalan kaki. Dan ternyata sudah banyak orang yang menuju ke puncak bukit Sikunir.

Kami berjalan dengan diterangi oleh sinar lampu senter. Pada awalnya, jalanan tidak terlalu menanjak sehingga tidak terlalu berat untuk mendaki. Tetapi setelah sepuluh menit kemudian, jalanan mulai menyempit sehingga yang tadinya bisa berjalan berjajar harus berjalan berbaris satu-satu. Kecepatan berrjalanpun semakin melambat karena jalan setapak yang semakin menanjak. Setelah hampir 30 menit berjalan kami sampai di tempat tujuan yang sudah penuh sesak dengan orang yang ingin menyaksikan matahari terbit. Karena terlalu banyak orang yang berjubel sehingga tidak memungkinkan bagi kami untuk dapat tempat yang enak, maka tour guide kami mengajak kami untuk naik lagi ketempat yang lebih tinggi. Dan setelah 15 menit mendaki dengan tingkat kecuraman yang lebih tajam dibandingkan sebelumnya sampailah kami di puncak bukit itu.


Terlihat sudah cukup banyak orang yang ada disana, namun jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan empat sebelumnya. Capek langsung terasa hilang setelah sampai di puncak. Tapi tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Kami tidak membawa air minum sebotolpun. Dan tenggorokan saya terasa sangat kering. Sempat terbayang mau mencari embun atau apapun untuk bisa sedikit membasahi tenggorokan. Tapi niat itupun saya urungkan.

Beberapa meter dari tepat kami berdiri terlihat beberapa tenda. Rupanya semalam ada yang camping di tempat ini. Perlahan hawa dingin kembali menyerang karena kami tidak melakukan aktifitas apapun selain berdiri menunggu matahari terbit. Akhirnya daripada bengong kamipun memulai kegiatan memuaskan nafsu narsis kami dan berfoto-foto centil. Beberapa waktu menunggu, rupanya keberuntungan sedang tidak memihak kepada kami. Kabut tebal sukses menutupi sinar matahari terbit yang kami nanti-nantikan. Akhirnya kamipun memutus segera turun dari bukit itu supaya nantinya kami tidak terlalu siang untuk kembali ke Jogja.


Telaga Cebong
Telaga ini terlihat indah ketika kami dalam perjalanan menuruni bukit Sikunir. Telaga ini terletak di desa Sembungan yang berada di ketinggian 2200 mdpl. Bisa dibilang desa ini merupakan desa tertinggi di pulau Jawa. Telaga ini merupakan bekas kawah gunung berapi yang sudah mati ratusan tahun. Mengapa dinamakan telaga Cebong? Menurut tour guide kami karena di telaga itu  terdapat banyak kecebong atau anak katak. Setelah berfoto-foto sebentar kami segera meninggalkan telaga ini dan menuju ke obyek wisata selanjutnya.


Sumur Jalatunda
Tujuan kami selanjutnya adalah Sumur Jalatunda. Jangan dibayangkan sumur ini seperti sumur biasa untuk mengambil air. Sumur ini terbentuk oleh kawah yang telah mati ribuan tahun yang lalu dan kemudian terisi air. Air Jalatunda ini berwarna kehijauan. Untuk mencapai sumur ini, kami harus melewati anak tangga yang entah bagaimana bisa ketika dihitung jumlah anak tangganya, jumlah hitungan antara satu orang dengan yang lainnya berbeda. Kami pun sempat mencoba dan ternyata ada selisih perhitungan.

Setelah mendaki anak tangga, sampailah kami di tepian sumur yang sangat curam. Disana terdapat sebuah bangunan kecil yang dibangun khusus untuk melihat ke arah sumur raksasa tersebut. Ada mitos yang berkaitan dengan sumur ini. Jika kita melempar batu kearah sumur, dan bisa melewati sumur tersebut maka keinginannya dapat terkabul. Bagi laki-laki, mereka harus melemparkan batu hingga mengenai dinding tebing di seberangnya. Sedangkan bagi perempuan cukup dengan melempar batu sanpai ke tengah sumur saja. Tentu saja saya ikut mencoba melempar batu meskipun tidak ada satupun lemparan saya yang sampai ke tengah hehehe.


Setelah puas mencoba melempar batu di sumur Jalatunda, kami lalu kembali ke homestay untuk membersihkan diri dan berkemas. Tapi tak lupa sebelumnya kami mampir untuk sarapan karena perut kami belum terisi apapun sejak pagi. Yaa..kecuali segelas mie instant yang saya makan sebelum berangkat ke Sikunir.Untuk sarapan kali ini kami memilih makanan khas Dieng yaitu Soto Dieng dan Mie Ongklok yang disajikan dengan sate daging. Saya yang mengharapkan makanan yang panas mengepul sedikit kecewa. Suhu yang sangat dingin membuat makanan sepanas apapun akan cepat menjadi dingin. Tapi tak apalah, paling tidak saya akhirnya tahu bagaimana rasa mie ongklok setelah berbulan-bulan penasaran.


Candi Borobudur
Setelah mandi dan selesai berkemas kami pun melanjutkan perjalanan meninggalkan Dieng dan menuju Jogja. Pemandangan yang sangat indah mengantarkan perjalanan kami menuruni jalanan yang berliku. Tiga jam kemudian, mobil yang kami tumpangi sampai di daerah sekitar Candi Borobudur. Dan kami pun memutuskan untuk singgah ke candi Budha terbesar yang dibangun tanpa menggunakan semen dan tanpa lem sama sekali. Suasana sangat panas siang itu tapi tidak menyurutkan semangat kami untuk berkeliling sejenak. Setelah berkeliling selama satu jam, kami pun memutuskan untuk segera meninggalkan candi itu dan melanjutkan perjalanan ke Jogja agar tidak kemalaman sampai di terminal.



Setelah sampai di Jogja, kami makan siang (makan sore lebih tepatnya karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore). Menu makan kami kali ini adalah menu ayam geprek, yaitu ayam crispy yang di hancurkan dan dicampur dengan sambal. Setelah selesai makan, kami langsung minta diantar ke terminal bus. Setelah menunggu sekitar 1 jam, tepat pukul 6 bus yang kami tumpangi berangkat meninggalkan Jogja dan mengantarkan kami kembali ke Surabaya. Berakhirlah petualangan kami kali ini. Cerita baru, pengalaman baru dan teman baru. Itulah yang kami dapatkan dari perjalanan selama tiga hari.