Thursday, August 23, 2012

Morotai, Mutiara di Batas Negeri

Pulau Morotai merupakan pulau yang terletak di sebelah utara pulau Halmahera, Maluku Utara. Pulau ini merupakan salah satu pulau paling utara di Indonesia dan menjadi saksi bisu sejarah Perang Dunia II. Lokasi yang strategis di samudera Pasifik membuat pulau ini pernah dua kali mengalami pendudukan tentara asing. Oleh tentara Jepang pada tahun1942 di bawah pimpinan Jenderal Kawashima, serta tentara Sekutu pada 1944 di bawah pimpinan Jenderal Douglas McArthur. Keindahan alam dan sejarahnya menjadi daya tarik pulau ini untuk dikunjungi.

Perjalanan saya ke Morotai dimulai dari pelabuhan Tobelo. Untuk menuju pelabuhan Daruba, kota pelabuhan Morotai, ada beberapa alternatif angkutan yang bisa kita gunakan. alternatif pertama adalah dengan menggunakan feri, speedboat dengan kapasitas 30 orang atau speed ojek dengan kapasitas 10 orang. Alternatif terakhir waktu tempuhnya paling cepat dibandingkan alternatif yang lainnya. Tentu dengan biaya yang lebih mahal. Untuk menghemat waktu kami memilih naik speed ojek. Sekitar 2 jam kemudian tibalah kami di pelabuhan Daruba. Kami langsung naik bentor (becak motor) ke rumah teman adik saya. Disana kami berencana menumpang selama di Morotai. 5 menit kemudian sampailah kami di sebuah apotek yang menjadi satu dengan minimarket. Ternyata ini lah rumah teman adik saya. Kami di sambut oleh tuan rumah dan di persilahkan istirahat sejenak dan makan siang sebelum berangkat ke pulau-pulau sekitar. Saya ngobrol dengan istri pemilik rumah yang sangat ramah sementara sang suami dan adik saya menyiapkan segala sesuatunya. Tepat pukul 12 ketika anak-anak pemilik rumah sudah pulang dari sekolah kami pun beramai-ramai berangkat menuju pulau Dodola dan sekitarnya.

Kami naik perahu ketinting, milik tuan rumah. Total kami bersembilan. Lima orang dewasa dan empat anak-anak. Sepertinya perjalanan kami akan menyenangkan. Baru seperempat perjalanan, baju saya sudah basah oleh ombak yang lumayan besar. Dan saya merasakan sensasi perasaan antara takut dan pasrah. Berasa jadi pelaut beneran saya hehehe. Di perahu saya bercanda dengan anak-anak kecil yang pemberani tersebut. Mungkin karena hidup di tepi laut mereka tidak merasakan takut sama sekali dan tetap tertawa ceria. Hujan deras yang sempat turun tidak menyurutkan keceriaan kami.

Pulau Dodola
Tujuan pertama kami adalah Pulau Dodola. Pulau Dodola ini terdiri atas dua pulau yaitu Dodola Besar dan Dodola Kecil. Dua pulau ini dipisahkan oleh laut dengan jarak kurang lebih 500 meter. Uniknya ketika air laut surut, kedua pulau ini menjadi satu. Pulau ini dikelilingi oleh pasir pantai putih yang halus seperti tepung.  Tiba di pulau ini langit terlihat sangat gelap pertanda akan turun hujan. Kami segera turun dari perahu sementara adik saya dan tuan rumah melanjutkan perjalanan untuk memancing ikan. Dan benar sesuai dugaan kami tidak seberapa lama setelah kami di pulau ini hujan turun dengan derasnya. Kami segera berlari menuju cottage-cottage yang sedang dalam proses pembangunan. Pada saat saya mengunjungi pulau ini memang sedang persiapan untuk menyambut Sail Morotai tahun 2011. Cottage-cottage yang ada terlihat kurang terawatt dan sedang dalam perbaikan. Kami berteduh di dalam salah satu cottage hingga hujan reda. Setelah hujan reda, kami berjalan-jalan mengelilingi pulau ini. Tidak butuh waktu yang lama untuk berkeliling karena pulau ini memang tidak terlalu besar.


Pulau Zum-Zum
Pulau Zum-Zum adalah pulau kecil yang terletak sekitar 3 mil dari kota Daruba. Yang unik dari pulau ini adalah adanya monumen Mc. Arthur sebagai tanda bahwa pemimpin pasukan sekutu tersebut pernah berada di pulau tersebut. Selain itu juga terdapat goa pusat komando dan juga tempat pendaratan amphibi masih terlihat di pulau ini. Kami hanya sebentar bermain-main di pulau ini karena dikhawatirkan ombak akan semakin tinggi mengingat cuaca sedang tidak baik, sehingga segera kembali ke Daruba setelah puas mengambil beberapa foto.

 
Daruba
Rumah yang saya tumpangi terletak di tepi laut jadi tempat bersandarnya perahu tepat dibelakang rumah. Saya segera mandi dan kemudian duduk-duduk di ruang makan sekaligus  dapur yang langsung menghadap ke laut. Saya berbincang-bingcang sambil menemani tuan rumah memasak ikan hasil pancingan tuan rumah dan adik saya. Saya lihat ada ikan Parrot. Girang sekali saya itu karena baru pertama kali saya melihat langsung ikan berwarna biru itu. Sambil duduk saya perhatikan lantai di dapur lebih rendah sekitar 60-70 cm daripada lantai lain di rumah ini. Setelah saya tanya, ternyata beda tinggi lantai tersebut memang disengaja untuk menghindari air laut masuk kedalam rumah pada saat musim ombak tinggi. Awalnya saya mengira air akan masuk melalui sela-sela lubang pintu. Tapi ternyata tidak. Air masuk melalui lubang ventilasi di dinding bagian atas. Ya, begitu tingginya ombak, hingga mencapai lubang ventilasi dan menerobos masuk ke dapur rumah tersebut. Hal itu membuat dapur tersebut akan dibanjiri oleh air laut. Jadi ruangan lain di buat lebih tinggi supaya air laut tidak meluber ke ruangan lain. Sedikit bengong saya membayangkan ketinggian ombak, sampai bisa masuk dari ventilasi udara. Dahsyat.

Setelah makan saya menuju ke bagian depan rumah ini yang merupakan minimarket. Duduk-duduk didepan rumah, bercakap-cakap dengan anak dan pegawai toko tersebut sambil melihat sekeliling. Tiba-tiba tuan rumah menawarkan saya untuk memakai mobilnya berkeliling disekitar daerah itu. Saya pun dengan segera mengiyakan, akhirnya saya dan adik mengajak anak-anak tuan rumah untuk berkeliling-keliling Daruba. Kami menyusuri jalanan dengan mayoritas pemandangan adalah pemandangan pantai. Sangat cantik. Di tengah perjalanan, perjalanan kami terhambat oleh kegiatan warga yang memindahkan rumah. Memindahkan rumah? Benar. memindahkan dalam artian mengangkat rumah untuk dipindahkan ke tempat lain. Rumah dari kayu tersebut diangkat beramai-ramai oleh belasan pemuda. Saya yang baru pertama kalinya melihat secara langsung acara 'pindahan rumah' tersebut hanya bisa bengong menyaksikan sehingga lupa mengambil kamera untuk mengabadikan moment tersebut. 

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju ke bandara udara yang selama ini dijadikan pangkalan TNI Aangkatan Udara. Bandara yang dibangun pada saat Perang Dunia II tersebut awalnya digunakan untuk menghadapi Jepang di Asia Pasifik. Sayangnya kami tidak mendapatkan ijin untuk masuk ke kawasan bandara sehingga sayapun memutar mobil untuk kembali ke rumah karena hari sudah mulai gelap. 

Sesampainya di rumah, setelah berbincang-bincang sebentar saya langsung naik ke lantai dua. Duduk di balkon sambil mendengarkan suara debur ombak dan melihat taburan bintang yang luar biasa banyaknya membuat saya betah berjam-jam ditempat itu. Belum pernah saya melihat bintang sebanyak itu. Semuanya terasa sangat sempurna. Setelah puas melihat bintang sayapun ke kamar dan tak lama kemudian tertidur nyenyak hingga pagi.


Keesokan paginya saya terbangun, dan pemandangan yang sangat indah langsung membuat saya terpesona. Dua pelangi yang bertumpuk terlihat indah diujung langit. Ternyata dini hari sebelumnya  hujan turun dengan derasnya sehingga membuat pelangi muncul dengan indahnya pagi itu. Sayang tak lama kemudian satu pelangi mulai memudar sehingga yang tampak hanyalah satu pelangi saja. Setelah sarapan pukul 9 kami berpamitan kepada pemilik rumah karena harus mengejar kapal untuk kembali ke Tobelo. Kami sengaja berjalan kaki karena jarak antara rumah dengan pelabuhan hanya sepuluh menit perjalanan. Sesampainya di pelabuhan kami segera naik ke kapal. Untunglah kami masih dapat tempat di dalam kapal, dibelakang nahkoda kapal sehingga tidak harus berpanas-panas ria. Di tengah perjalanan saya melihat beberapa lumba-lumba yang berenang di samping kapal. Senangnya melihat lumba-lumba berenang di alam bebas. Ya, liburan ke Morotai ini sangat berkesan untuk saya :)

Monday, August 13, 2012

Sepenggal Cerita dari Halmahera

Melanjutkan postingan sebelumnya 'Ternate, si Cantik dari Timur', perjalanan kemi dilanjutkan ke Halmahera.Perjalanan dimulai dari pelabuhan speedboat Kotabaru di Ternate. Dengan menggunakan speedboat dibutuhkan waktu sekitar 40 menit untuk sampai di Sofifi, Halmahera Barat. Setelah 45 menit terguncang-guncang didalam speedboat berkapasitas sekitar 10 orang sampailah kami, saya dan adik saya, di pelabuhan yang cukup ramai. Kami langsung diserbu oleh para sopir Otto, sebutan untuk kendaraan roda empat di daerah sana. Di area parkir pelabuhan saya lihat banyak mobil seperti Avanza, Innova, Yaris, Jazz, Harrier, X-Over, Rush dan masih banyak lagi berjajar. Awalnya saya mengira mobil-mobil itu adalah mobil sewaan. Tetapi setelah saya perhatikan ternyata mobil-mobil tersebut ber plat nomor polisi warna kuning yang berarti mobil angkutan umum yang mengantarkan penumpang ke segala kota di pulau ini. Setelah tawar menawar, kami memutuskan untuk menumpang Innova dengan  biaya 100 ribu per orang.



Mobil yang kami tumpangi bersama 2 penumpang lain segera melaju ke Tobelo. Perjalanan selama 4 jam dengan jalan yang meliuk-liuk naik turun dan sopir yang sepertinya jebolan F1, dilihat dari caranya ngebut dan nyaris tanpa menginjak rem sama sekali selama perjalanan, sukses membuat saya pusing. Untungnya di tengah jalan ada tambahan penumpang yang sedang sakit sehingga sopir tersebut mengurangi kecepatannya. Seperti di Ternate, sepanjang perjalanan saya melihat banyak kebun-kebun pala. Jika kebetulan berada ketinggian, saya bisa melihat laut dari kejauhan. Bisa dibayangkan betapa cantiknya. Pusing saya pun perlahan hilang dan digantikan dengan rasa senang melihat pemandangan yang kami lalui. Setelah perjalanan yang melelahkan namun menyenangkan, empat jam kemudian kami tiba di Tobelo. Saya langsung mandi dan makan, lalu terlelap hingga esok pagi.



Tobelo
Tobelo adalah kota terbesar di Halmahera sekaligus juga merupakan ibukota kabupaten Halmahera Utara. Kota ini terletak di semenanjung utara Pulau halmahera dan berbatasan dengan wilayah Galela dan Kao. Yang menarik dari kota ini adalah banyaknya pantai dan keindahan alam bawah lautnya.

Di kota ini pernah terjadi kerusuhan yang diwarnai pembantaian. Kerusuhan berlatar belakang agama ini terjadi pada tahun 1999-2000. Bekas-bekas kerusuhan masih terlihat sampai sekarang. Saya sempat melihat bekas rumah yang dirusak pada saat kejadian dan sampai sekarang dibiarkan begitu saja. Untunglah kondisinya sekarang ini sudah aman dan masyarakat disana hidup berdampingan secara damai meskipun berbeda kepercayaan.

Setelah semalaman saya tertidur karena perjalanan yang sangat panjang, keesokan paginya saya bangun dengan badan yang sangat segar. Setelah mandi dan sarapan pagi, saya diajak oleh ayah dan adik saya untuk melihat beberapa pulau di sekitar Tobelo. Untuk menuju pulau-pulau itu kami menyewa perahu tradisional ketinting. Perahu ketinting ini seperti gambar dibawah ini adalah perahu kecil, dengan bambu disisi kanan dan kiri sebagai penyeimbang dan dilengkapi mesin untuk menggerakkan perahu. Kami hanya singgah di pulau Karara untuk minum air kelapa muda dan bermain-main sebentar di pulau itu. Sementara untuk pulau-pulau lainnya kami sudah cukup puas dengan melihat dari perahu saja. Saya lebih senang berada di atas perahu sambil melihat ke dalam ainya yang sangat bening.


Galela
Setelah puas melihat-lihat pulau disekitar Tobelo, kami kembali ke Tobelo dan melanjutkan perjalanan ke Galela untuk makan siang. Perjalanan Tobelo-Galela ini kami tempuh dalam waktu 45 menit dengan menggunakan mobil. Di Galela ini terdapat Bandar Udara Gamarmalamo yang menghubungkan kota ini dengan Ternate, tetapi penerbangan tidak setiap hari ada. Kami langsung menuju ke Danau Galela yang sering juga disebut Telaga Biru untuk makan di pinggir danau tersebut. Hujan rintik-rintik selama perjalanan semakin bertambah deras ketika kami sampai di tempat makan tersebut. Istimewanya makan di tempat ini, ikan yang disajikan segar karena diambil langsung dari danau jadi ikannya terasa nikmat dilidah saya. Sembari menunggu ikan selesai dimasak, kami menyantap pisang mulut bebek. Pisang ini merupakan jenis pisang yang hanya tumbuh di Halmahera. Dinamakan pisang mulut bebek karena bentuk pisang ini menyerupai bentuk mulut bebek. Biasanya pisang ini digoreng dan dimakan dengan sambal dabu-dabu. Rasanya yang sangat enak perpaduan dari manis dan gurih yang renyah membuat saya ketagihan makanan satu ini. Sayang di pulau Jawa ini pisang jenis ini tidak tumbuh.


Pelangi di Tobelo
Setelah makan siang selesai, kami segera kembali ke Tobelo. Hujan yang menemani perjalanan kami menyisakan pemandangan yang sangat indah. Pelangi dengan warna yang sangat jelas muncul dilangit. Dan saya sempat tertegun karena belum pernah saya melihat pelangi sejelas dan seindah ini di pulau Jawa.



Setelah beberapa hari di Tobelo, tibalah waktunya saya pulang. Pukul 7 pagi, mobil Avanza yang saya tumpangi sudah sampai di rumah. Masih belum ada penumpang lainnya karena sayalah penumpang pertama. Jadilah saya ngobrol dengan pengemudi yang penduduk asli Tobelo. Pria berkulit hitam dan berambut keriting khas daerah timur Indonesia ini sangat ramah. Ya, beberapa hari perjalanan saya di pulau ini mampu merubah mind set saya. Selama ini saya selalu takut melihat orang-orang yang berkulit hitam. Kesannya kasar dan menakutkan. Tetapi setelah melihat langsung dan berbaur dengan mereka, ternyata pandangan saya selama ini salah. Mereka sangat ramah, bahkan pada orang yang baru mereka temui.

Beberapa saat setelah perjalanan, ada bapak-bapak paruh baya yang bergabung dengan kami. Beliau lahir di Ternate namun tinggal di Jakarta. Tak lama setelah itu mobil kami dihentikan, dan kali ini yang ingin menumpang adalah serombongan anak-anak SMA yang akan berangkat sekolah. Dan dalam sekejab mobil Avanza tersebut penuh sesak. Bayangkan mobil yang berkapasitas 8 orang ini dipaksa untuk mengangkut 11 orang dewasa. Untung saya duduk di sebelah pengemudi dan hanya bisa tersenyum mendengarkan celotehan mereka. Mobil pun terasa lapang lagi setelah mereka turun di depan sekolah mereka.

Sesampainya di Sofifi saya langsung menuju ke tempat dimana speed boat berlabuh. Mungkin melihat tas saya yang lumayan besar, bapak yang semobil dengan saya tadi memaksa membantu membawakan tas saya sampai masuk ke speed boat. Sesampainya di pelabuhan ternate pun beliau masih bersikeras membawakan tas saya dan membantu mencarikan ojek untuk saya menuju ke bandara. Sekali lagi saya bertemu dengan orang baik di tanah yang masih asing bagi saya ini. Dan itu cukup membuat saya terharu. Setelah perjalanan 15 menit, sampailah saya di bandara yang sudah penuh dengan calon penumpang. Timbangan bagasi di bandara ini masih menggunakan timbangan manual seperti timbangan beras hehe. Setelah check ini saya segera menuju ruang boarding. Cukup betah saya di ruang boarding ini karena dari tempat saya duduk saya bisa melihat laut dan pulau Tidore di seberang sana. Akhirnya tibalah waktunya untuk saya masuk ke pesawat dan meninggalkan pulau cantik ini. Pelangi, makanan, keramahan penduduknya dan keindahan alamnya membuat saya bertekad dalam hati untuk mengunjungi daerah Indonesia timur yang lainnya :)

Sunday, August 5, 2012

Ternate, si Cantik dari Timur

Saya jatuh cinta dengan alam Indonesia bagian timur. Sangat jatuh cinta dan muncul keinginan untuk explore lebih jauh lagi sejak perjalanan saya ke Maluku Utara tepatnya Ternate, Halmahera dan Morotai. Biaya transportasi yang tidak sedikit terbayar oleh indahnya pemandangan yang dapat ditangkap oleh mata saya. Saya membutuhkan waktu sekita satu minggu untuk berjalan-jalan didaerah ini. Waktu yang sangat sedikit jika saya mengikuti keinginan saya untuk melihat dengan detil setiap sudut daerahnya.

Perjalanan saya ke Ternate dimulai dari Surabaya pada pukul 21.20. Tepat pukul 12.00 pesawat yang saya tumpangi mendarat dengan mulus di bandara Hasanuddin, bandara dengan bangunan yang tampak bagus dan modern dibandingkan bandara lain di Indonesia. Bandara ini sangat besar dan nyaman. Karena masih punya waktu empat jam sebelum schedule pesawat ke Ternate, saya mencari tempat untuk merebahkan badan. Dan untunglah saya menemukan sudut yang agak sepi dimana sudah ada beberapa orang yang istirahat disitu. Akhirnya setelah menunggu sekitar 4 jam. Pada pukul 04.20 pesawat yang saya tumpangi take off menuju Ternate. Setelah di pesawat saya kembali melanjutkan tidur. Ketika terbangun, terlihat langit sudah mulai memerah, pertanda pagi sudah menyapa. Di depan saya sudah tersedia sarapan berupa omelet. Cukup untuk sedikit menenangkan perut yang mulai terasa lapar. Setelah makan iseng saya melongok ke jendela dan terlihat jajaran pulau-pulau yang terlihat cantik dari atas. Tepat pukul 07.20 pesawat yang saya tumpangi mendarat di bandara Sultan Babullah, Ternate.


Danau Tolire
Setelah bertemu dengan adik saya yang menjemput di bandara, kami naik motor untuk berkeliling Ternate sebentar sebelum melanjutkan ke Tobelo, Halmahera Utara. Kami naik motor melewati Masjid Raya yang terletak pinggir pantai yang cantik. Sayang saya tidak sempat berhenti karena kami harus bergegas ke danau Tolire, danau yang terletak sekitar 10 KM dari pusat kota Ternate. Jalan menanjak dan berkelok tampak cantik dengan banyak pohon pala dan kelapa disepanjang kiri dan kanan jalan menuju ke lokasi danau tersebut.

Danau Tolire berada di bawah kaki Gunung Gamalama, gunung berapi yang masih aktif di Ternate. Danau ini cukup unik. Jika kita melempar sebuah batu ke danau ini, sekuat apapun lemparan kita, batu itu tidak akan pernah bisa menyentuh air danau. Padahal kita berdiri tepat diatas tepi danau. Saya yang baru pertama kali berkunjung tentu saja tidak percaya dan membeli batu dari anak-anak kecil yang dengan harga seribu rupiah untuk lima buah batu. Dan saya baru percaya dengan mitos tersebut setelah kelima batu yang saya lempar tidak berhasil menyentuh air. Dan menurut ibu-ibu yang saya temui disana, sampai sekarang belum ada orang yang lemparannya berhasil menyentuh air danau tersebut. Setelah puas kami segera beranjak meninggalkan danau tersebut dan menuju ke benteng Tolukko.



Benteng Tolukko
Seperti yang kita ketahui, Ternate sangat terkenal dengan kekayaan rempah-rempah yang mengundang para penjajah untuk menguasai daerah ini. Salah satunya adalah bangsa Portugis. Mereka menguasai Ternate demi misi perdagangan rempah-rempah. Dan kekayaan repah-rempah ini masih bisa saya saksikan sampai sekarang. Di sepanjang perjalanan saya dapat melihat jajaran pohon-pohon pala. Senangnya saya dapat melihat pohonnya secara langsung, mengingat selama ini saya hanya bisa melihat buahnya yang dijadikan manisan atau sebagai bumbu masak.

Bukti bahwa sejak dulu Ternate sudah menjadi wilayah yang diperebutkan juga dapat dilihat dari banyaknya peninggalan berupa benteng yang masih dapat kita lihat sampai sekarang. Salah satunya adalah Benteng Tolukko. Benteng peninggalan Portugis yang ini dibangun pada tahun 1540 untuk mengamankan perdagangan mereka dan juga untuk mengintai musuh.

Keunikan dari benteng ini adalah adanya terowongan bawah tanah yang berhubungan langsung dengan laut. Namun karena alasan tertentu, terowongan ini sekarang di tutup. Kondisi benteng ini masih cukup baik. Pemandangan dari atas benteng ini cukup bagus. Dari atas benteng ini kita dapat melihat perahu-perahu berlayar dilautan. Sayang saya sampai di benteng ini ketika sudah mulai siang sehingga saya tidak berlama-lama dan segera meneruskan perjalanan ke Halmahera.



Selain dua tempat yang saya kunjungi tadi sebenarnya masih banyak tempat lain yang tidak kalah menarik. Ada pantai Sulamadaha, pantai dengan pasir berwarna hitam yang cantik, Kesultanan Ternate, dan benteng-benteng lain yang banyak terdapat di pulau ini. Tapi sayang kai tidak punya banyak waktu di pulau ini. Kami harus segera menuju ke pelabuhan penyeberangan speedboat Kotabaru untuk menyeberang ke Sofifi, Halmahera Barat. Dan meninggalkan Ternate dengan janji dalam hati, kelak akan kembali dan mengeksplore kecantikan alamnya lebih dalam.