Saturday, November 17, 2012

Dieng, Dataran Cantik Tempat Para Dewa (Tamat)

Menyambung posting sebelumnya, setelah lelah seharian berkeliling mengunjungi beberapa obyek wisata di Dieng, malamnya kami segera beristirahat di homestay karena keesokan paginya kami harus berangkat menuju bukit Sikunir untuk melihat sunrise pukul 03.30.

Bukit Sikunir
Keesokan paginya saya terbangun pukul 3 pagi. Sambil membangunkan yang lainnya saya memasak mie instant untuk sekedar menghangatkan perut sebelum bergumul dengan dinginnya dini hari Dieng. Pukul 3.30 tepat kami berangkat menuju ke bukit Sikunir. Selama di perjalanan kami tidak bisa melihat apa-apa selain bagian yang terkena sorot lampu mobil karena suasana masih sangat gelap. Semakin mendekati lokasi, jalanan semakin sempit. Setelah sekitar 30 menit perjalanan sampailah kami di telaga Cebong, tempat dimana mobil harus parkir dan kami melanjutkan perjalanan mendaki dengan berjalan kaki. Dan ternyata sudah banyak orang yang menuju ke puncak bukit Sikunir.

Kami berjalan dengan diterangi oleh sinar lampu senter. Pada awalnya, jalanan tidak terlalu menanjak sehingga tidak terlalu berat untuk mendaki. Tetapi setelah sepuluh menit kemudian, jalanan mulai menyempit sehingga yang tadinya bisa berjalan berjajar harus berjalan berbaris satu-satu. Kecepatan berrjalanpun semakin melambat karena jalan setapak yang semakin menanjak. Setelah hampir 30 menit berjalan kami sampai di tempat tujuan yang sudah penuh sesak dengan orang yang ingin menyaksikan matahari terbit. Karena terlalu banyak orang yang berjubel sehingga tidak memungkinkan bagi kami untuk dapat tempat yang enak, maka tour guide kami mengajak kami untuk naik lagi ketempat yang lebih tinggi. Dan setelah 15 menit mendaki dengan tingkat kecuraman yang lebih tajam dibandingkan sebelumnya sampailah kami di puncak bukit itu.


Terlihat sudah cukup banyak orang yang ada disana, namun jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan empat sebelumnya. Capek langsung terasa hilang setelah sampai di puncak. Tapi tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Kami tidak membawa air minum sebotolpun. Dan tenggorokan saya terasa sangat kering. Sempat terbayang mau mencari embun atau apapun untuk bisa sedikit membasahi tenggorokan. Tapi niat itupun saya urungkan.

Beberapa meter dari tepat kami berdiri terlihat beberapa tenda. Rupanya semalam ada yang camping di tempat ini. Perlahan hawa dingin kembali menyerang karena kami tidak melakukan aktifitas apapun selain berdiri menunggu matahari terbit. Akhirnya daripada bengong kamipun memulai kegiatan memuaskan nafsu narsis kami dan berfoto-foto centil. Beberapa waktu menunggu, rupanya keberuntungan sedang tidak memihak kepada kami. Kabut tebal sukses menutupi sinar matahari terbit yang kami nanti-nantikan. Akhirnya kamipun memutus segera turun dari bukit itu supaya nantinya kami tidak terlalu siang untuk kembali ke Jogja.


Telaga Cebong
Telaga ini terlihat indah ketika kami dalam perjalanan menuruni bukit Sikunir. Telaga ini terletak di desa Sembungan yang berada di ketinggian 2200 mdpl. Bisa dibilang desa ini merupakan desa tertinggi di pulau Jawa. Telaga ini merupakan bekas kawah gunung berapi yang sudah mati ratusan tahun. Mengapa dinamakan telaga Cebong? Menurut tour guide kami karena di telaga itu  terdapat banyak kecebong atau anak katak. Setelah berfoto-foto sebentar kami segera meninggalkan telaga ini dan menuju ke obyek wisata selanjutnya.


Sumur Jalatunda
Tujuan kami selanjutnya adalah Sumur Jalatunda. Jangan dibayangkan sumur ini seperti sumur biasa untuk mengambil air. Sumur ini terbentuk oleh kawah yang telah mati ribuan tahun yang lalu dan kemudian terisi air. Air Jalatunda ini berwarna kehijauan. Untuk mencapai sumur ini, kami harus melewati anak tangga yang entah bagaimana bisa ketika dihitung jumlah anak tangganya, jumlah hitungan antara satu orang dengan yang lainnya berbeda. Kami pun sempat mencoba dan ternyata ada selisih perhitungan.

Setelah mendaki anak tangga, sampailah kami di tepian sumur yang sangat curam. Disana terdapat sebuah bangunan kecil yang dibangun khusus untuk melihat ke arah sumur raksasa tersebut. Ada mitos yang berkaitan dengan sumur ini. Jika kita melempar batu kearah sumur, dan bisa melewati sumur tersebut maka keinginannya dapat terkabul. Bagi laki-laki, mereka harus melemparkan batu hingga mengenai dinding tebing di seberangnya. Sedangkan bagi perempuan cukup dengan melempar batu sanpai ke tengah sumur saja. Tentu saja saya ikut mencoba melempar batu meskipun tidak ada satupun lemparan saya yang sampai ke tengah hehehe.


Setelah puas mencoba melempar batu di sumur Jalatunda, kami lalu kembali ke homestay untuk membersihkan diri dan berkemas. Tapi tak lupa sebelumnya kami mampir untuk sarapan karena perut kami belum terisi apapun sejak pagi. Yaa..kecuali segelas mie instant yang saya makan sebelum berangkat ke Sikunir.Untuk sarapan kali ini kami memilih makanan khas Dieng yaitu Soto Dieng dan Mie Ongklok yang disajikan dengan sate daging. Saya yang mengharapkan makanan yang panas mengepul sedikit kecewa. Suhu yang sangat dingin membuat makanan sepanas apapun akan cepat menjadi dingin. Tapi tak apalah, paling tidak saya akhirnya tahu bagaimana rasa mie ongklok setelah berbulan-bulan penasaran.


Candi Borobudur
Setelah mandi dan selesai berkemas kami pun melanjutkan perjalanan meninggalkan Dieng dan menuju Jogja. Pemandangan yang sangat indah mengantarkan perjalanan kami menuruni jalanan yang berliku. Tiga jam kemudian, mobil yang kami tumpangi sampai di daerah sekitar Candi Borobudur. Dan kami pun memutuskan untuk singgah ke candi Budha terbesar yang dibangun tanpa menggunakan semen dan tanpa lem sama sekali. Suasana sangat panas siang itu tapi tidak menyurutkan semangat kami untuk berkeliling sejenak. Setelah berkeliling selama satu jam, kami pun memutuskan untuk segera meninggalkan candi itu dan melanjutkan perjalanan ke Jogja agar tidak kemalaman sampai di terminal.



Setelah sampai di Jogja, kami makan siang (makan sore lebih tepatnya karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore). Menu makan kami kali ini adalah menu ayam geprek, yaitu ayam crispy yang di hancurkan dan dicampur dengan sambal. Setelah selesai makan, kami langsung minta diantar ke terminal bus. Setelah menunggu sekitar 1 jam, tepat pukul 6 bus yang kami tumpangi berangkat meninggalkan Jogja dan mengantarkan kami kembali ke Surabaya. Berakhirlah petualangan kami kali ini. Cerita baru, pengalaman baru dan teman baru. Itulah yang kami dapatkan dari perjalanan selama tiga hari.


Tuesday, November 6, 2012

Dieng, Dataran Cantik Tempat Para Dewa (Part 2)

Setelah mandi dan beristirahat sekitar satu jam, kami memutuskan untuk segera makan siang dan memulai mengunjungi beberapa obyek wisata. Kami berjalan menuju depot milik Pak Alif yang tidak jauh dari homestay. Setelah mengisi perut kami segera melanjutkan acara hari itu dengan ditemani oleh tour guide.

Komplek Candi Arjuna
Tujuan pertama kami hari itu adalah komplek Candi Arjuna yang merupakan salah satu candi Hindu tertua di Jawa. Komplek Candi Arjuna terdiri dari dua deret candi yang saling berhadapan, deret sebelah timur secara berturut-turut adalah Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Sedangkan deret sebelah barat hanya tersisa 1 buah candi yaitu Candi Semar.Tidak jauh dari komplek ini juga terdapat Candi-Candi lain yaitu Candi Setyaki, Candi Gatut Kaca, Candi Bima dan Candi Dwarawati.
Komplek candi ini terlihat indah, dikelilingi oleh taman dengan bunga-bunga dan jajaran pohon cemara. Bukit-bukit dan pegunungan yang tampak mengelilingi menambah keasrian komplek candi ini. Asap putih yang tampak mengepul dari kawah-kawah vulkanik di kejauhan membuat suasana komplek candi ini menjadi sedikit mistis.

Siang itu terlihat pengunjung lumayan banyak. Kebanyakan adalah murid-murid SMP dan SMA yang sedang melakukan study tour. Di salah satu candi tampak sekelompok orang berpakaian dan bertopeng ala tokoh pewayangan, dimana pengunjung dapat berfoto bersama dengan memberikan tips sukarela.

 

Telaga Balekambang
Apa yang pertama terbayang ketika disebutkan Telaga Balekambang? Yang saya bayangkan adalah ada telaga atau danau dan diatasnya terdapat balai atau rumah-rumahan yang terlihat seolah-oleh mengambang diatas permukaan air. Karena rasa ingin tahu kami pun melanjutkan berjalan kaki ke lokasi Telaga Balekambang tersebut. Jalan setapak menuju lokasi sangat sejuk dan asri. Beberapa anak kecil tampak bermain sepeda dengan riangnya. Petani kentang juga terlihat sibuk mengurus ladang kentangnya. Dari kejauhan saya tidak melihat permukaan air sama sekali. Yang terlihat adalah hamparan rerumputan. Hingga tour guide kami meminta kami melompat diatas rerumputan. Kami merasakan tanah dibawah kami bergetar ketika kami berlompatan. Ternyata disitulah letak telaga balekambang. Dulu tempat ini adalah sebuah telaga yang airnya digunakan oleh penduduk setempat untuk mengairi ladang sayuran. Namun saat ini permukaan telaga sebagian besar sudah tertutup oleh tanah gambut dan nampak seperti padang rumput.




Telaga Warna
Tujuan kami selanjutnya adalah Telaga Warna. Disebut dengan telaga warna karena air telaga ini warnanya bervariasi. Kadang berwarna hijau dan kuning, biru dan kuning atau bahkan berwarna pelangi. Perubahan warna ini dipengaruhi oleh cuaca, waktu dan dari sudut mana kita melihat.
Pada saat kami ke Telaga tersebut, air yang terlihat agak kehijauan dan kondisi air tidak sepenuh biasanya disebabkan oleh kemarau panjang.

Tidak jauh dari Telaga Warna, ada sebuah telaga yang lebih kecil bernama Telaga Pengilon. Dinamakan Telaga Pengilon karena airnya yang jernih terlihat seperti cermin. Konon telaga tersebut bisa digunakan untuk melihat seseorang baik atau buruk. Bila ia terlihat cantik atau tampan ketika memandang air telaga ini, maka hatinya baik. Sebaliknya, bila tidak ia termasuk orang berhati busuk.

Selain kedua danau tersebut, terdapat juga hamparan ilalang yang cukup menarik untuk dijadikan lokasi foto. Kami pun memutuskan berhenti sejenak untuk mengambil beberapa foto. Setelah puas berfoto kami melanjutkan berjalan kaki untuk melihat beberpa gua yang ada di area tersebut yaitu Gua Semar, Gua Sumur dan Gua Jaran. Ketika sampai di depan Gua Semar, pengunjung langsung bisa mengenali gua tersebut karena di depan gua terdapat patung Semar. Gua ini sering menjadi tempat untuk bersemedi. Tidak jauh dari gua Semar, terdapat Gua Sumur dengan arca wanita yang membawa kendi di depan pintunya.Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak. tak lama kemudian kami sampai di gua Jaran atau gua Kuda. Tour guide kami menceritakan, dinamakan gua Jaran karena konon dulu ada kuda yang masuk ke dalam gua tersebut dan ketika keluar dari gua kuda itu hamil. Hal itu membuat penduduk percaya jika gua tersebut dapat digunakan untuk bersemedi bagi wanita yang ingin mendapatkan keturunan.



Dieng Plateau Theater 
Setelah dari Telaga Warna, kami menuju ke Dieng Plateau Theater. Dieng Plateau Theater atau biasanya disingkat DPT merupakan sebuah theater mini yang terletak di bukit Sikendil. Di theater yang berkapasitas sekitar 100 tempat duduk ini pengunjung dapat melihat pemutaran filmdurasi sekitar 20 menit yang menceritakan tentang Dieng mulai dari sejarah, obyek wisata hingga budaya Dieng.
Sambil menunggu giliran masuk kedalam theater, kami mencoba beberapa jajanan khas Dieng seperti tempe kemul dan jamur goreng. Tak disangka kami bertemu dengan satu anak berambut gimbal. Ya, anak berambut gimbal merupakan salah satu daya tarik utama bagi saya untuk mengunjungi Dieng. Anak itu bernama Nita, berumur sekitar 6 tahun. Beruntung sekali Nita mau diajak berfoto dengan saya.


Kawah Sikidang
Setelah selesai menonton film tentang Dieng di DPT, kami melanjutkan perjalanan ke kawah selah Sikidang. Kawah Sikidang merupakan kawah yang terbesar dan terpopuler di Dieng. Nama Kawah Sikidang ini berasal dari kata kidang yang berarti kijang atau rusa. Hal ini dikarenakan uap air dan lava berwarna kelabu yang terdapat di kawah selalu bergolak dan munculnya berpindah-pindah seperti lompatan seekor kidang.

Jika dibandingkan dengan pemandangan yang bisa kita lihat di daerah Dieng yang lain, kawah ini terlihat kontras. Pemandangan hijau pepohonan dan ladang-ladang sayuran tidak tampak, digantikan dengan pemandangan hamparan tanah tandus yang dikelilingi perbukitan dengan kawah yang terus menerus mengepulkan asap. Bau belerang terasa sangat menyengat, sehingga disarankan memakai penutup hidung bagi yang tidak tahan dengan bau belerang.


Ketika mendekati kawah, terlihat seorang wanita dengan memakai sarung dan caping menjajakan bongkahan-bongkahan belerang sebagai souvenir khas Kawah Sikidang. Ya..meskipun baunya sangat menyengat, belerang ini dipercaya berkhasiat untuk menghaluskan kulit dan menghilangkan jerawat.
Penampakan Kawah Sikidang berupa kolam besar dengan air yang bercampur lumpur yang terus bergolak dan mengeluarkan asap. Entah berapa derajad suhu kawah ini tetapi yang pasti sangat panas, sehingga pagar bambu dibangun mengelilingi kawah tersebut untuk menjaga keamanan pengunjung.




Setelah puas mengunjungi Kawah Sikidang, kami pun meninggalkan kawah tersebut dan menuju ke tempat pembelian oleh-oleh. Dan kemudian ke homestay untuk membersihkan badan dan beristirahat karena keesokan harinya kami harus bergerak ke bukit Sikunir pukul 04.00 untuk mengejar sunrise.

Friday, November 2, 2012

Dieng, Dataran Cantik Tempat Para Dewa (Part 1)



Dieng merupakan dataran tinggi yang berada di perbatasan antara Banjarnegara dan Wonosobo. Dengan ketinggian hingga 6000 kaki dan terletak diantara gunung Sindoro dan gunung Sumbing, kawasan ini mempunyai suhu yang dingin. Bahkan di bulan-bulan tertentu suhu mencapai titik beku atau 0 derajat celcius. Antara bulan Juli-Agustus 2012 bahkan muncul embun beku yang disebut 'bun upas' oleh warga setempat yang berarti embun racun. Disebut embun racun karena embun tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.

Kawasan Dieng ini sudah cukup lama menarik perhatian saya. Setelah mencari informasi tentang apa saja yang ada disana dan bagaimana kesana, akhirnya saya dan lima orang teman sepakat untuk menghabiskan akhir pekan disana. Sebagai traveler receh, tentu saja kami mencari informasi bagaimana cara ke Dieng dengan biaya semurah-murahnya. Tapi dengan catatan, cukup untuk waktu libur yang hanya dua hari, dan kami tidak terlalu babak belur setelah traveling. Maklumlah, kami semua adalah karyawan yang dituntut tetap bekerja dengan baik pada hari senin setelah weekend hehehe.

Ada dua alternatif yang kami pertimbangkan. Alternatif pertama dan termurah adalah, kami naik bus dari Surabaya sampai ke Dieng dengan resiko harus berganti-ganti bus dan membutuhkan waktu yang lebih lama di perjalanan. Alternatif kedua, kami naik bus ke Jogja, dan dilanjut dengan mobil. Untuk perjalanan Jogja-Dieng kami serahkan ke pihak homestay di Dieng. Pilihan kedua ini tentu lebih mahal dibandingkan alternatif kedua. Dengan pertimbangan waktu dan tenaga yang sangat terbatas akhirnya kami memilih alternatif kedua.


Jumat malam, sesuai dengan kesepakatan kami berkumpul di terminal Surabaya sekitar pukul 20.00. Tepat pukul 21.00 bus berangkat dari terminal. Karena capek dan ngantuk saya tertidur hampir sepanjang perjalanan dan baru terbangun ketika bus sudah memasuki Jogja sekitar pukul 4 pagi. Karena jadwal penjemputan baru dua jam lagi, akhirnya kami menunggu di masjid terminal sekalian sholat shubuh.

Pukul 6 tepat mobil jemputan sampai di terminal, dan berangkatlah kami ke Dieng. Sekitar satu jam kemudian kami berhenti untuk sarapan di daerah Sleman. Setelah itu perjalanan berlanjut langsung menuju Dieng. Jalanan yang naik turun dan berkelok-kelok menghilangkan kantuk saya. Terutama ketika sudah hampir sampai di kawasan Dieng. Sepanjang perjalanan mata saya dimanjakan oleh hijaunya lahan yang ditanami berbagai macam sayuran. Kawasan ini terkenal sebagai penghasil sayuran di Jawa Tengah. Selain kentang sebagai komoditas utama, daerah ini juga menghasilkan wortel, kubis dan berbagai bawang-bawangan. Selain sayuran juga terdapat ada tanaman khas dari daerah ini yaitu buah carica (baca: karika). Buah ini seperti pepaya tetapi berukuran mini, daging lebih kenyal berwarna kuning dan rasanya cenderung asam. Buah ini biasanya diolah menjadi sirup, dodol dan manisan.



Tepat pukul 10 pagi kami sampai di homestay. Bapak Alif pemilik homestay langsung mengenalkan kami dengan Mas Wiwid, tour guide yang akan memandu kami selama di Dieng. Ya kami membutuhkan tour guide karena obyek wisata di kawasan Dieng ini banyak dan tersebar di beberapa area. Selain itu kami juga ingin mendengarkan ‘dongeng’ mengenai tempat yang kami kunjungi.

Homestay tempat kami tinggal sangat mencolok. Homestay ini tidak terletak di jalan utama, tetapi harus masuk kedalam gang. Tapi cat nya yang berwarna merah, membuat homestay ini cukup eyecatching. Homestay ini mempunyai 3 kamar tidur dengan masing-masing kamar tidur dilengkapi dengan springbed dan selimut tebal. Ada air panas, yang tentu sangat dibutuhkan untuk daerah yang sangat dingin, ruang TV dan dapur, sehingga pengunjung bisa memasak atau sekedar merebus air untuk membuat minuman hangat. Begitu sampai di homestay, kami istirahat sebentar, mandi dan sholat dhuhur. Kami memutuskan untuk mulai mengunjungi daerah wisata setelah makan siang. 
Tempat apa saja yang kami kunjungi selama sisa hari itu akan saya lanjutkan di posting selanjutnya ya :)