Saturday, November 17, 2012

Dieng, Dataran Cantik Tempat Para Dewa (Tamat)

Menyambung posting sebelumnya, setelah lelah seharian berkeliling mengunjungi beberapa obyek wisata di Dieng, malamnya kami segera beristirahat di homestay karena keesokan paginya kami harus berangkat menuju bukit Sikunir untuk melihat sunrise pukul 03.30.

Bukit Sikunir
Keesokan paginya saya terbangun pukul 3 pagi. Sambil membangunkan yang lainnya saya memasak mie instant untuk sekedar menghangatkan perut sebelum bergumul dengan dinginnya dini hari Dieng. Pukul 3.30 tepat kami berangkat menuju ke bukit Sikunir. Selama di perjalanan kami tidak bisa melihat apa-apa selain bagian yang terkena sorot lampu mobil karena suasana masih sangat gelap. Semakin mendekati lokasi, jalanan semakin sempit. Setelah sekitar 30 menit perjalanan sampailah kami di telaga Cebong, tempat dimana mobil harus parkir dan kami melanjutkan perjalanan mendaki dengan berjalan kaki. Dan ternyata sudah banyak orang yang menuju ke puncak bukit Sikunir.

Kami berjalan dengan diterangi oleh sinar lampu senter. Pada awalnya, jalanan tidak terlalu menanjak sehingga tidak terlalu berat untuk mendaki. Tetapi setelah sepuluh menit kemudian, jalanan mulai menyempit sehingga yang tadinya bisa berjalan berjajar harus berjalan berbaris satu-satu. Kecepatan berrjalanpun semakin melambat karena jalan setapak yang semakin menanjak. Setelah hampir 30 menit berjalan kami sampai di tempat tujuan yang sudah penuh sesak dengan orang yang ingin menyaksikan matahari terbit. Karena terlalu banyak orang yang berjubel sehingga tidak memungkinkan bagi kami untuk dapat tempat yang enak, maka tour guide kami mengajak kami untuk naik lagi ketempat yang lebih tinggi. Dan setelah 15 menit mendaki dengan tingkat kecuraman yang lebih tajam dibandingkan sebelumnya sampailah kami di puncak bukit itu.


Terlihat sudah cukup banyak orang yang ada disana, namun jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan empat sebelumnya. Capek langsung terasa hilang setelah sampai di puncak. Tapi tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Kami tidak membawa air minum sebotolpun. Dan tenggorokan saya terasa sangat kering. Sempat terbayang mau mencari embun atau apapun untuk bisa sedikit membasahi tenggorokan. Tapi niat itupun saya urungkan.

Beberapa meter dari tepat kami berdiri terlihat beberapa tenda. Rupanya semalam ada yang camping di tempat ini. Perlahan hawa dingin kembali menyerang karena kami tidak melakukan aktifitas apapun selain berdiri menunggu matahari terbit. Akhirnya daripada bengong kamipun memulai kegiatan memuaskan nafsu narsis kami dan berfoto-foto centil. Beberapa waktu menunggu, rupanya keberuntungan sedang tidak memihak kepada kami. Kabut tebal sukses menutupi sinar matahari terbit yang kami nanti-nantikan. Akhirnya kamipun memutus segera turun dari bukit itu supaya nantinya kami tidak terlalu siang untuk kembali ke Jogja.


Telaga Cebong
Telaga ini terlihat indah ketika kami dalam perjalanan menuruni bukit Sikunir. Telaga ini terletak di desa Sembungan yang berada di ketinggian 2200 mdpl. Bisa dibilang desa ini merupakan desa tertinggi di pulau Jawa. Telaga ini merupakan bekas kawah gunung berapi yang sudah mati ratusan tahun. Mengapa dinamakan telaga Cebong? Menurut tour guide kami karena di telaga itu  terdapat banyak kecebong atau anak katak. Setelah berfoto-foto sebentar kami segera meninggalkan telaga ini dan menuju ke obyek wisata selanjutnya.


Sumur Jalatunda
Tujuan kami selanjutnya adalah Sumur Jalatunda. Jangan dibayangkan sumur ini seperti sumur biasa untuk mengambil air. Sumur ini terbentuk oleh kawah yang telah mati ribuan tahun yang lalu dan kemudian terisi air. Air Jalatunda ini berwarna kehijauan. Untuk mencapai sumur ini, kami harus melewati anak tangga yang entah bagaimana bisa ketika dihitung jumlah anak tangganya, jumlah hitungan antara satu orang dengan yang lainnya berbeda. Kami pun sempat mencoba dan ternyata ada selisih perhitungan.

Setelah mendaki anak tangga, sampailah kami di tepian sumur yang sangat curam. Disana terdapat sebuah bangunan kecil yang dibangun khusus untuk melihat ke arah sumur raksasa tersebut. Ada mitos yang berkaitan dengan sumur ini. Jika kita melempar batu kearah sumur, dan bisa melewati sumur tersebut maka keinginannya dapat terkabul. Bagi laki-laki, mereka harus melemparkan batu hingga mengenai dinding tebing di seberangnya. Sedangkan bagi perempuan cukup dengan melempar batu sanpai ke tengah sumur saja. Tentu saja saya ikut mencoba melempar batu meskipun tidak ada satupun lemparan saya yang sampai ke tengah hehehe.


Setelah puas mencoba melempar batu di sumur Jalatunda, kami lalu kembali ke homestay untuk membersihkan diri dan berkemas. Tapi tak lupa sebelumnya kami mampir untuk sarapan karena perut kami belum terisi apapun sejak pagi. Yaa..kecuali segelas mie instant yang saya makan sebelum berangkat ke Sikunir.Untuk sarapan kali ini kami memilih makanan khas Dieng yaitu Soto Dieng dan Mie Ongklok yang disajikan dengan sate daging. Saya yang mengharapkan makanan yang panas mengepul sedikit kecewa. Suhu yang sangat dingin membuat makanan sepanas apapun akan cepat menjadi dingin. Tapi tak apalah, paling tidak saya akhirnya tahu bagaimana rasa mie ongklok setelah berbulan-bulan penasaran.


Candi Borobudur
Setelah mandi dan selesai berkemas kami pun melanjutkan perjalanan meninggalkan Dieng dan menuju Jogja. Pemandangan yang sangat indah mengantarkan perjalanan kami menuruni jalanan yang berliku. Tiga jam kemudian, mobil yang kami tumpangi sampai di daerah sekitar Candi Borobudur. Dan kami pun memutuskan untuk singgah ke candi Budha terbesar yang dibangun tanpa menggunakan semen dan tanpa lem sama sekali. Suasana sangat panas siang itu tapi tidak menyurutkan semangat kami untuk berkeliling sejenak. Setelah berkeliling selama satu jam, kami pun memutuskan untuk segera meninggalkan candi itu dan melanjutkan perjalanan ke Jogja agar tidak kemalaman sampai di terminal.



Setelah sampai di Jogja, kami makan siang (makan sore lebih tepatnya karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore). Menu makan kami kali ini adalah menu ayam geprek, yaitu ayam crispy yang di hancurkan dan dicampur dengan sambal. Setelah selesai makan, kami langsung minta diantar ke terminal bus. Setelah menunggu sekitar 1 jam, tepat pukul 6 bus yang kami tumpangi berangkat meninggalkan Jogja dan mengantarkan kami kembali ke Surabaya. Berakhirlah petualangan kami kali ini. Cerita baru, pengalaman baru dan teman baru. Itulah yang kami dapatkan dari perjalanan selama tiga hari.


Tuesday, November 6, 2012

Dieng, Dataran Cantik Tempat Para Dewa (Part 2)

Setelah mandi dan beristirahat sekitar satu jam, kami memutuskan untuk segera makan siang dan memulai mengunjungi beberapa obyek wisata. Kami berjalan menuju depot milik Pak Alif yang tidak jauh dari homestay. Setelah mengisi perut kami segera melanjutkan acara hari itu dengan ditemani oleh tour guide.

Komplek Candi Arjuna
Tujuan pertama kami hari itu adalah komplek Candi Arjuna yang merupakan salah satu candi Hindu tertua di Jawa. Komplek Candi Arjuna terdiri dari dua deret candi yang saling berhadapan, deret sebelah timur secara berturut-turut adalah Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Sedangkan deret sebelah barat hanya tersisa 1 buah candi yaitu Candi Semar.Tidak jauh dari komplek ini juga terdapat Candi-Candi lain yaitu Candi Setyaki, Candi Gatut Kaca, Candi Bima dan Candi Dwarawati.
Komplek candi ini terlihat indah, dikelilingi oleh taman dengan bunga-bunga dan jajaran pohon cemara. Bukit-bukit dan pegunungan yang tampak mengelilingi menambah keasrian komplek candi ini. Asap putih yang tampak mengepul dari kawah-kawah vulkanik di kejauhan membuat suasana komplek candi ini menjadi sedikit mistis.

Siang itu terlihat pengunjung lumayan banyak. Kebanyakan adalah murid-murid SMP dan SMA yang sedang melakukan study tour. Di salah satu candi tampak sekelompok orang berpakaian dan bertopeng ala tokoh pewayangan, dimana pengunjung dapat berfoto bersama dengan memberikan tips sukarela.

 

Telaga Balekambang
Apa yang pertama terbayang ketika disebutkan Telaga Balekambang? Yang saya bayangkan adalah ada telaga atau danau dan diatasnya terdapat balai atau rumah-rumahan yang terlihat seolah-oleh mengambang diatas permukaan air. Karena rasa ingin tahu kami pun melanjutkan berjalan kaki ke lokasi Telaga Balekambang tersebut. Jalan setapak menuju lokasi sangat sejuk dan asri. Beberapa anak kecil tampak bermain sepeda dengan riangnya. Petani kentang juga terlihat sibuk mengurus ladang kentangnya. Dari kejauhan saya tidak melihat permukaan air sama sekali. Yang terlihat adalah hamparan rerumputan. Hingga tour guide kami meminta kami melompat diatas rerumputan. Kami merasakan tanah dibawah kami bergetar ketika kami berlompatan. Ternyata disitulah letak telaga balekambang. Dulu tempat ini adalah sebuah telaga yang airnya digunakan oleh penduduk setempat untuk mengairi ladang sayuran. Namun saat ini permukaan telaga sebagian besar sudah tertutup oleh tanah gambut dan nampak seperti padang rumput.




Telaga Warna
Tujuan kami selanjutnya adalah Telaga Warna. Disebut dengan telaga warna karena air telaga ini warnanya bervariasi. Kadang berwarna hijau dan kuning, biru dan kuning atau bahkan berwarna pelangi. Perubahan warna ini dipengaruhi oleh cuaca, waktu dan dari sudut mana kita melihat.
Pada saat kami ke Telaga tersebut, air yang terlihat agak kehijauan dan kondisi air tidak sepenuh biasanya disebabkan oleh kemarau panjang.

Tidak jauh dari Telaga Warna, ada sebuah telaga yang lebih kecil bernama Telaga Pengilon. Dinamakan Telaga Pengilon karena airnya yang jernih terlihat seperti cermin. Konon telaga tersebut bisa digunakan untuk melihat seseorang baik atau buruk. Bila ia terlihat cantik atau tampan ketika memandang air telaga ini, maka hatinya baik. Sebaliknya, bila tidak ia termasuk orang berhati busuk.

Selain kedua danau tersebut, terdapat juga hamparan ilalang yang cukup menarik untuk dijadikan lokasi foto. Kami pun memutuskan berhenti sejenak untuk mengambil beberapa foto. Setelah puas berfoto kami melanjutkan berjalan kaki untuk melihat beberpa gua yang ada di area tersebut yaitu Gua Semar, Gua Sumur dan Gua Jaran. Ketika sampai di depan Gua Semar, pengunjung langsung bisa mengenali gua tersebut karena di depan gua terdapat patung Semar. Gua ini sering menjadi tempat untuk bersemedi. Tidak jauh dari gua Semar, terdapat Gua Sumur dengan arca wanita yang membawa kendi di depan pintunya.Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak. tak lama kemudian kami sampai di gua Jaran atau gua Kuda. Tour guide kami menceritakan, dinamakan gua Jaran karena konon dulu ada kuda yang masuk ke dalam gua tersebut dan ketika keluar dari gua kuda itu hamil. Hal itu membuat penduduk percaya jika gua tersebut dapat digunakan untuk bersemedi bagi wanita yang ingin mendapatkan keturunan.



Dieng Plateau Theater 
Setelah dari Telaga Warna, kami menuju ke Dieng Plateau Theater. Dieng Plateau Theater atau biasanya disingkat DPT merupakan sebuah theater mini yang terletak di bukit Sikendil. Di theater yang berkapasitas sekitar 100 tempat duduk ini pengunjung dapat melihat pemutaran filmdurasi sekitar 20 menit yang menceritakan tentang Dieng mulai dari sejarah, obyek wisata hingga budaya Dieng.
Sambil menunggu giliran masuk kedalam theater, kami mencoba beberapa jajanan khas Dieng seperti tempe kemul dan jamur goreng. Tak disangka kami bertemu dengan satu anak berambut gimbal. Ya, anak berambut gimbal merupakan salah satu daya tarik utama bagi saya untuk mengunjungi Dieng. Anak itu bernama Nita, berumur sekitar 6 tahun. Beruntung sekali Nita mau diajak berfoto dengan saya.


Kawah Sikidang
Setelah selesai menonton film tentang Dieng di DPT, kami melanjutkan perjalanan ke kawah selah Sikidang. Kawah Sikidang merupakan kawah yang terbesar dan terpopuler di Dieng. Nama Kawah Sikidang ini berasal dari kata kidang yang berarti kijang atau rusa. Hal ini dikarenakan uap air dan lava berwarna kelabu yang terdapat di kawah selalu bergolak dan munculnya berpindah-pindah seperti lompatan seekor kidang.

Jika dibandingkan dengan pemandangan yang bisa kita lihat di daerah Dieng yang lain, kawah ini terlihat kontras. Pemandangan hijau pepohonan dan ladang-ladang sayuran tidak tampak, digantikan dengan pemandangan hamparan tanah tandus yang dikelilingi perbukitan dengan kawah yang terus menerus mengepulkan asap. Bau belerang terasa sangat menyengat, sehingga disarankan memakai penutup hidung bagi yang tidak tahan dengan bau belerang.


Ketika mendekati kawah, terlihat seorang wanita dengan memakai sarung dan caping menjajakan bongkahan-bongkahan belerang sebagai souvenir khas Kawah Sikidang. Ya..meskipun baunya sangat menyengat, belerang ini dipercaya berkhasiat untuk menghaluskan kulit dan menghilangkan jerawat.
Penampakan Kawah Sikidang berupa kolam besar dengan air yang bercampur lumpur yang terus bergolak dan mengeluarkan asap. Entah berapa derajad suhu kawah ini tetapi yang pasti sangat panas, sehingga pagar bambu dibangun mengelilingi kawah tersebut untuk menjaga keamanan pengunjung.




Setelah puas mengunjungi Kawah Sikidang, kami pun meninggalkan kawah tersebut dan menuju ke tempat pembelian oleh-oleh. Dan kemudian ke homestay untuk membersihkan badan dan beristirahat karena keesokan harinya kami harus bergerak ke bukit Sikunir pukul 04.00 untuk mengejar sunrise.

Friday, November 2, 2012

Dieng, Dataran Cantik Tempat Para Dewa (Part 1)



Dieng merupakan dataran tinggi yang berada di perbatasan antara Banjarnegara dan Wonosobo. Dengan ketinggian hingga 6000 kaki dan terletak diantara gunung Sindoro dan gunung Sumbing, kawasan ini mempunyai suhu yang dingin. Bahkan di bulan-bulan tertentu suhu mencapai titik beku atau 0 derajat celcius. Antara bulan Juli-Agustus 2012 bahkan muncul embun beku yang disebut 'bun upas' oleh warga setempat yang berarti embun racun. Disebut embun racun karena embun tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.

Kawasan Dieng ini sudah cukup lama menarik perhatian saya. Setelah mencari informasi tentang apa saja yang ada disana dan bagaimana kesana, akhirnya saya dan lima orang teman sepakat untuk menghabiskan akhir pekan disana. Sebagai traveler receh, tentu saja kami mencari informasi bagaimana cara ke Dieng dengan biaya semurah-murahnya. Tapi dengan catatan, cukup untuk waktu libur yang hanya dua hari, dan kami tidak terlalu babak belur setelah traveling. Maklumlah, kami semua adalah karyawan yang dituntut tetap bekerja dengan baik pada hari senin setelah weekend hehehe.

Ada dua alternatif yang kami pertimbangkan. Alternatif pertama dan termurah adalah, kami naik bus dari Surabaya sampai ke Dieng dengan resiko harus berganti-ganti bus dan membutuhkan waktu yang lebih lama di perjalanan. Alternatif kedua, kami naik bus ke Jogja, dan dilanjut dengan mobil. Untuk perjalanan Jogja-Dieng kami serahkan ke pihak homestay di Dieng. Pilihan kedua ini tentu lebih mahal dibandingkan alternatif kedua. Dengan pertimbangan waktu dan tenaga yang sangat terbatas akhirnya kami memilih alternatif kedua.


Jumat malam, sesuai dengan kesepakatan kami berkumpul di terminal Surabaya sekitar pukul 20.00. Tepat pukul 21.00 bus berangkat dari terminal. Karena capek dan ngantuk saya tertidur hampir sepanjang perjalanan dan baru terbangun ketika bus sudah memasuki Jogja sekitar pukul 4 pagi. Karena jadwal penjemputan baru dua jam lagi, akhirnya kami menunggu di masjid terminal sekalian sholat shubuh.

Pukul 6 tepat mobil jemputan sampai di terminal, dan berangkatlah kami ke Dieng. Sekitar satu jam kemudian kami berhenti untuk sarapan di daerah Sleman. Setelah itu perjalanan berlanjut langsung menuju Dieng. Jalanan yang naik turun dan berkelok-kelok menghilangkan kantuk saya. Terutama ketika sudah hampir sampai di kawasan Dieng. Sepanjang perjalanan mata saya dimanjakan oleh hijaunya lahan yang ditanami berbagai macam sayuran. Kawasan ini terkenal sebagai penghasil sayuran di Jawa Tengah. Selain kentang sebagai komoditas utama, daerah ini juga menghasilkan wortel, kubis dan berbagai bawang-bawangan. Selain sayuran juga terdapat ada tanaman khas dari daerah ini yaitu buah carica (baca: karika). Buah ini seperti pepaya tetapi berukuran mini, daging lebih kenyal berwarna kuning dan rasanya cenderung asam. Buah ini biasanya diolah menjadi sirup, dodol dan manisan.



Tepat pukul 10 pagi kami sampai di homestay. Bapak Alif pemilik homestay langsung mengenalkan kami dengan Mas Wiwid, tour guide yang akan memandu kami selama di Dieng. Ya kami membutuhkan tour guide karena obyek wisata di kawasan Dieng ini banyak dan tersebar di beberapa area. Selain itu kami juga ingin mendengarkan ‘dongeng’ mengenai tempat yang kami kunjungi.

Homestay tempat kami tinggal sangat mencolok. Homestay ini tidak terletak di jalan utama, tetapi harus masuk kedalam gang. Tapi cat nya yang berwarna merah, membuat homestay ini cukup eyecatching. Homestay ini mempunyai 3 kamar tidur dengan masing-masing kamar tidur dilengkapi dengan springbed dan selimut tebal. Ada air panas, yang tentu sangat dibutuhkan untuk daerah yang sangat dingin, ruang TV dan dapur, sehingga pengunjung bisa memasak atau sekedar merebus air untuk membuat minuman hangat. Begitu sampai di homestay, kami istirahat sebentar, mandi dan sholat dhuhur. Kami memutuskan untuk mulai mengunjungi daerah wisata setelah makan siang. 
Tempat apa saja yang kami kunjungi selama sisa hari itu akan saya lanjutkan di posting selanjutnya ya :)

Wednesday, September 26, 2012

Kembali ke Malang Tempoe Doeloe

Festival Malang Tempoe Doeloe (MTD) merupakan event tahunan yang diadakan oleh Pemerintah Kota Malang. Dalam festival ini kita bisa menemui beraneka macam dagangan tempo dulu seperti baju dan barang antik sejak jaman kolonial. Selain itu kita juga dapat melihat beraneka makanan dan jajanan jaman dulu yang sekarang mungkin sudah jarang kita lihat.

Kami, bertiga, ke Malang dengan menggunakan kereta api ekonomi Penataran. Saya yang sudah bertahun-tahun tidak naik kereta api ekonomi cukup takjub ketika sudah diatas kereta. Diawali dengan duduk berdesakan karena salah satu teman yang terpaksa membeli tiket kereta dengan jam yang berbeda jam keberangkatan. Untunglah petugas tiket tidak terlalu teliti sehingga dia bisa lolos naik ke kereta.  Pedagang asongan yang hilir mudik menjajakan dagangannya cukup menghibur karena beberapa menawarkan dagangannya dengan cara yang unik. Dagangan yang ditawarkan pun bermacam-macam. Mulai dari snack, minuman, buah, buku hingga pisau hehehe. Suasana seperti itu yang tidak bisa ditemui di kereta kelas bisnis apalagi eksekutif. Kami tiba di stasiun Malang sekitar pukul 14.00 dan langsung menuju warung bakso karena perut sudah berontak minta diisi.

Setelah selesai makan, kami langsung mencari angkot menuju ke jalan Ijen, tempat acara diadakan. Setelah lima belas menit perjalanan dengan angkot, sampailah kami ditempat tujuan. Masih belum terlalu banyak pengunjung sehingga kami bisa dengan bebas dan santai untuk berjalan, motret dan mencicipi beberapa jajanan. Saya teringat masa kecil ketika melihat ada stan yang menjual tebu. Tanpa pikir panjang saya pun membeli dan kemudian menikmati tebu tersebut sambil melanjutkan melihat-lihat. Disepanjang jalan Ijen, saya melihat beberapa pengunjung yang memakai pakaian dan membawa perlengkapan jaman dulu. Banyak jajanan-jajanan jaman dulu yang di jual. Bahkan saya menemukan rukem, buah yang sudah mulai langka dan baru pertama kali saya lihat disitu.



Selain berjalan kaki, pengunjung juga dapat berkeliling dengan naik kereta kuda. Banyak sekali kereta kuda yang telah dihias berkeliling sepanjang jalan Ijen sehingga pengunjung yang berjalan kaki harus berhati-hati agar tidak tertabrak kereta kuda yang lewat. Ternyata tidak hanya kuda saja yang menarik kereta. Ada kambing entah jenis apa yang diberdayakan untuk menarik kereta. Tentu saja yang boleh naik hanya anak kecil.


Di Malang Tempoe Doeloe kami juga bisa melihat signage maupun iklan jaman dulu. Selain itu kami juga menemukanbarang-barang yang sudah kuno dan juga beberapa poster film maupun buku-buku lama.




 Semakin sore, Malang Tempoe Doeloe ini semakin banyak pengunjung. Dan puncaknya sekitar pukul 6 sore, entah datang dari mana saja, saya merasa tiba-tiba tempat ini menjadi lautan manusia sampai untuk berjalan saja susah. Untunglah kami sudah puas melihat-lihat dan memang sudah waktunya kami segera kembali ke stasiun untuk mengejar kereta ke Surabaya. Sebelum pergi kami memutuskan makan terlebih dahulu. Kami masuk ke stan yang menjual seafood termasuk sate hiu. Saya yang ngga tega makan daging hiu memesan cumi-cumi bakar. Sedangkan teman saya memesan satu porsi sate hiu karena penasaran dengan rasanya. 

Setelah selesai makan kami segera keluar dari lokasi Malang Tempoe Doeloe dan berjalan untuk mencari angkot yang bisa mengantarkan kami ke stasiun. Tapi tak disangka ternyata tidak ada angkot disekitar jalan Ijen. Mereka mengalihkan trayeknya karena padatnya pengunjung yang membludak membuat jalanan macet dan ditutup untuk angkot. Walhasil kami harus berjalan kaki sampai stasiun supaya tidak ketinggalan kereta. Dan akhirnya kami sampai di stasiun dengan badan berkeringat dan betis yang lumayan pegal. Tapi kami senang dan sangat menikmati acara jalan-jalan kami ini.

Monday, September 17, 2012

Petualangan Pantai Goa Cina



Mungkin banyak yang masih belum mendengar nama pantai Goa Cina. Pantai yang masih jarang dikunjungi oleh wisatawan ini keindahannya masih sangat alami. Pantai ini terletak di wilayah kabupaten malang dan terletak berdekatan dengan pantai Sendang Biru dan pantai Bajul Mati. Memang pantai yang berada sekitar tiga jam perjalanan dari kota Malang ini kurang terkenal jika dibandingkan dengan pantai Bale Kambang, Sendang Biru ataupun Ngliyep namun pemandangan alamnya sangat indah.

Pantai ini terdapat di daerah Sumbermanjing dengan panjang pantai yang terbentang sekitar 3 km dimana garis pantainya cukup beragam. Ada yang berpasir putih, ada yang berkarang dangkal dan ada pula yang curam dengan arus ombak yang cukup besar khas pantai di sepanjang sisi selatan pulau Jawa sehingga pengunjung harus hati-hati jika berenang. Selain garis pantainya yang beragam, pantai ini juga dilengkapi oleh pulau-pulau kecil ditengah laut.

Perjalanan ke pantai ini saya lakukan pertengahan tahun 2011 bersama beberapa orang teman. Kami melakukan perjalanan dengan menggunakan motor. Kami berangkat dari Surabaya pada malam hari sekitar pukul 9 malam dan langsung menuju Turen untuk bermalam di rumah salah satu teman. Sekitar pukul 12 malam kami tiba di Turen dan langsung disambut dengan makan malam. Makan malamnya tidak mewah namun jamur crispy, tempe goreng dan sambal terasa begitu nikmat mengingat kami sudah sangat kelaparan dan kedinginan sepanjang perjalanan. Setelah makan malam (atau makan dini hari lebih tepatnya) kami segera beristirahat agar keesokan harinya bisa bangun pagi untuk melanjutkan perjalanan ke pantai Gua Cina. 

Keesokan harinya kami berangkat ke Pantai Goa Cina sekitar pukul 9. Perjalanan ke pantai tersebut berkelok-kelok dan naik turun. Selama perjalanan kami disuguhi oleh pemandangan alam yang menawan berupa sawah-sawah yang hijau menghampar, tebing-tebing yang berdiri kokoh dan pohon-pohon yang menjulang tinggi.  1 km menjelang pantai, kami harus melewati jalan sempit yang berbatu sehingga motor yang kami tumpangi harus berjalan sangat pelan. Tapi perjuangan melewati jalan berbatu tersebut terbayar lunas ketika pantai sudah terlihat.

Terlihat pemandangan pantai yang indah dengan beberapa deretan tebing. Air lautnya yang biru membuat kami ingin segera merendam kaki dan bermain air laut. Dan itulah yang kami lakukan. Segera berhamburan menuju bibir pantai. Bermain dengan pasir dan air laut. Di tempat ini terdapat dua karakter pantai. Yang satu tepi pantainya berkarang dan satunya lagi berpasir. Dan satu lagi yang unik, dipantai ini terdapat goa. Dan keberadaan goa tersebut melatarbelakangi penamaan pantai ini. Konon kabarnya dulu ada seseorang dari etnis Cina yang bertapa dan kemudian ditemukan meninggal di goa tersebut. Itulah mengapa dinamakan pantai goa cina.

Bermain di pantai ini sangat menyenangkan. Ada yang berendam, ada yang bermain pasir, sementara saya sendiri berjalan menyusuri bibir pantai sambil merasakan lembutnya pasir putih. Mencari tempat teduh dan kemudian berbaring hingga tertidur hehe


Di tempat ini terdapat sebuah warung yang menjual makanan sederhana. Pilihan menunya tidak banyak tetapi cukup untuk mengganjal perut yang lapar setelah beberapa lama bermain-main. Di warung tersebut kita juga bisa menumpang mandi setelah berenang.

Pantai ini membuat saya melihat masih banyak tempat-tempat yang indah di pulau Jawa yang harus di kunjungi. Dan saya berharap masig punya banyak waktu dan kesempatan untuk berjalan-jalan lagi :)



Monday, September 10, 2012

Makassar dan senja merahnya



Mengunjungi Makassar sebenarnya tidak ada dalam list itinerary perjalanan ke Halmahera. Tetapi ide untuk sedikit melihat-lihat kota itu terlintas ketika saya sudah mulai bosan di Tobelo. Karena pesawat yang saya tumpangi akan transit di kota itu saya pikir tidak masalah jika saya menyempatkan berjalan-jalan sebentar. Seketika itu juga saya mereschedule tiket pulang. Butuh effort yang lumayan ternyata mereschedule tiket dari Tobelo. Koneksi internet saya yang tewas ketika memasuki Halmahera, membuat saya tidak bisa mengakses website airline sama sekali. Sementara untuk ke warnet tidak memungkinkan karena pada saat itu saya sedang berada di pulau di sekitar Tobelo. Akhirnya permasalahan tiket berhasil diatasi setelah saya menelpon kantor di Surabaya dan meminta tolong teman untuk me-refund tiket lama dan membeli tiket yang baru. Sesampainya di kota Tobelo saya langsung ke warnet untuk check email dan mencetak  e-ticket yang ternyata butuh kesabaran ekstra. Koneksinya yang super lambat walaupun hanya sekedar membuka email dan mahalnya biaya nge-print cukup membuat saya bad mood. Tapi ya sudahlah, yang penting urusan tiket saya beres. Setelah urusan tiket beres, saya menelpon teman saya yang tinggal di Makassar untuk menanyakan penginapan murah dan bersih. Dan akhirnya teman saya menyarankan untuk menginap di sebuah rumah kost milik temannya dengan tarif Rp. 75.000 per hari.

Setelah tiba di Makassar, saya segera mencari taksi menuju alamat rumah kost tersebut. Setelah beberapa saat berputar-putar akhirnya saya menemukan rumah kost yang dimaksud dan setelah masuk ternyata fasilitasnya lumayan untuk harga yang mereka minta. Kamar dengan AC, kamar mandi dalam dan cable TV. Setelah membersihkan badan dan istirahat sebentar saya keluar untuk mencari makan. Makanan yang saya coba kali ini adalah Pallu Basa, yang merupakan kuliner khas tradisional Makassar. Hampir mirip dengan coto, tetapi dengan aroma kuah yang sedikit berbeda. Yang membedakan lagi, jika coto dimakan dengan ketupat, pallu basa ini dimakan dengan nasi putih. Dan satu lagi , biasanya orang makan menu ini dengan mencampurkan telur mentah ke dalam kuah yang panas. Kuliner yang wajib dicoba jika ke Makassar. Setelah makan saya segera kembali ke rumah kost dan beristirahat karena badan saya terasa sangat lelah setelah 6 jam perjalanan dari Tobelo.
Keesokan harinya saya memutuskan untuk mengunjungi Trans Studio. Trans Studio ini merupakan Trans Studio yang pertama. Selain di Makassar, wahana bermain ini ada di Bandung dan rencananya aka nada di Surabaya juga. Wahana bermain yang ada di dalam mall ini masih lumayan sepi ketika saya datang. Mungkin karena terlalu pagi. Jadilah saya dengan santai menikmati semua wahana yang ada tanpa perlu antri. Memang sih, wahana di Trans Studio Makassar ini tidak sebanyak yang di Bandung. Tapi Ok lah untuk mengisi waktu.

Pukul sore saya segera keluar dari Trans Studio dan naik taksi menuju Pantai Losari untuk melihat sunset yang konon katanya sangat bagus. Sedikit kecewa ketika mendapati ternyata hujan turun meskipun tidak begitu deras. Tapi karena waktu saya melihat sunset disana hanya tinggal sore itu saja akhirnya saya nekad pergi juga. Sesampainya disana hujan sudah agak reda meskipun masih rintik-rintik. Dan ternyata perjuangan saya berbasah-basah ria tidak sia-sia. Sunset nya cantik dan saya ketemu pelangi lagi disini. Saya berada di pantai ini sampai matahari benar-benar menghilang sembari menyaksikan aktifitas pengunjung. Ada yang sibuk memancing, turis yang datang dan berfoto-foto, anak-anak kecil yang berenang. Sangat menyenangkan.



Setelah hari mulai gelap saya bermaksud mencari tempat untuk membeli oleh-oleh. Dengan bermodalkan petunjuk dari sopir taksi yang mengantarkan saya dari Trans Studio ke Pantai Losari tadi saya berhasil menemukan toko oleh-oleh. Cukup bingung juga harus membeli apa. Akhirnya saya mengambil beberapa makanan khas Makassar dan sekotak kopi. Setelah acara beli oleh-oleh selesai saya segera mencari makan karena perut saya mulai minta diisi. Kali ini saya memilih Coto Makassar. Dan menurut saya kalah lezat dibandingkan coto Makassar langganan saya di Surabaya. Tapi cukup lumayan lah untuk mengisi perut. Setelah kenyang saya pun mencari taksi untuk pulang ke rumah kost dan kemudian istirahat.

Keesokan harinya saya terbangun karena lapar. Segera saya mandi dan berjalan keluar untuk mencari warung makanan. Setelah 20 menit berjalan saya menemukan warung Coto Makassar di pinggir jalan yang cukup ramai pengunjung. Segera saya memesan seporsi coto dan ketupatnya. Secara rasa, lebih enak darippada yang saya coba malam sebelumnya namun masih tetap kalah enak dibandingkan yang di Surabaya. Apa lidah Jawa saya memang kurang cocok dengan rasa asli coto? Entahlah.
Setelah makan dan saya segera kembali ke kost untuk packing karena waktu saya tinggal dua jam sebelum ke bandara untuk penerbangan ke Surabaya. Ternyata barang bawaan saya beranak. Waktu datang ke kota ini yang saya bawa hanya satu traveling bag dan satu backpack kecil, sekarang ditambah dua dus oleh-oleh hehehe. Tepat pukul 11 saya berangkat menuju ke Bandara. Perjalanan 1 jam ke bandara diisi dengan cerita sopir taksi tentang kota Makassar. Ok juga ini pak taksinya. Bisa jadi guide juga. Ternyata banyak tempat di Makassar yang harus dikunjungi dan saya lewatkan. Ya memang waktu saya tidak banyak disana. Mungkin lain kali saya akan datang lagi kesana dan mengexplore lebih banyak tempat yang menarik. Semoga. Dan ini saya ucapkan dalam hati ketika pesawat yang saya tumpangi take off  meninggalkan Makassar.